Novel

Rabu, 30 Juni 2010

Percikan Darah di Bunga


1
DHIRA Ayu Laksmita menatap ke ruang pasien sebelah dari jendela yang tersekat kaca. Di ruang dalam itu tampak seorang wanita muda terbaring lemah di sebuah ranjang. Mata itu terkatup, sepertinya ia terlelap setelah semalaman menangis dan menyesali hidup. Gadis itu sempat pingsan beberapakali, mungkin ketika menyadari kejadian yang menimpa dirinya.
Diam-diam gadis berjilbab hijau muda itu memperhatikan sosok gadis yang terlentang lemah. Kulitnya agak gelap, persis kulit Aldita, teman satu profesi di lembaga advokad-nya. Wajah itu sangat kusut dan letih. Pun rambut panjangnya, terurai tak beraturan, menutupi sebagian wajah dan matanya yang lembab. Ia seperti kebanyakan gadis desa. Tapi tubuh gadis itu memancarkan kekuatan yang bisa menyesatkan pikiran lelaki.
Dhira tidak sanggup membayangkan betapa ngerinya peristiwa itu. Ia merasa jijik membayangkan laki-laki kotor, tanpa cinta dan tidak berperasaan menindih perempuan itu dengan paksa. Betapa manusia tidak berjiwa, buas seperti serigala. Tiba-tiba perutnya terasa mual. Tubuhnya terasa lemah, bayangan itu menghimpit jiwanya.
Ia mengalihkan pandangan. Mata itu berkerjapan mencari-cari sosok Sulastri. Seharian Direktur LBH Perempuan itu sibuk ke sana ke mari. Tadi ia melihat atasannya itu lagi mendamping ibu korban, seraya mengutip keterangan dari seorang bidan desa. Bidan yang mengantarkan gadis malang itu ke rumah sakit ini. Dokter sudah mengambil visum, dan meberikan hasilnya pada Sulastri.
Keduannya tidak kelihatan lagi. Oh, Dhira tidak sadar kalau ia terbegong cukup lama di balik jendela kaca itu. Ia kelihatan canggung ketika menemui dirinya masih di sana. Beberapa petugas pria di ruangan itu memperhatikannya. Gadis itu pura-pura merogoh tasnya, lantas ia tak acuh. Bau obat-obatan membuatnya mau muntah.
Dhira menutupi hidungnya dengan tissue. Tak ada pilihan lain selain duduk di ruang tunggu. Benaknya masih diluputi perasaan tidak menentu. Kejadian ini merupakan kasus ketujuh yang dihadapinya sejak gadis itu bergabung dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Perempuan. Sebenarnya sudah banyak kasus-kasus serupa yang sering ia baca di media massa. Tapi baru kali ini aktifis perempuan itu menyaksikan penderitaan korban pemerkosaan secara langsung.
Betapa menyedihkan dan menderitanya gadis malang itu. Kehormatan satu-satunya yang ia banggakan sudah lenyap. Belum lagi penderitaan sosial yang akan dihadapinya ketika berada di tengah masyarakat. Walau itu bukan kehendaknya, bahkan sama sekali tidak ia harapkan, tapi anggapan dan sikap orang akan akan sangat beda. Adakah pemuda yang mau menata kembali masa depannya?
Naluri kewanitaan Dhira begitu miris. Berkali-kali ia mengutuk dalam hatinya. Mengutuk perbuatan lelaki bejat. Mengapa harus perempuan yang menanggung penderitaan, sementara lelaki menikmati kelakuan terkutuknya? Luka itu akan membekas secara fisik dan meninggalkan penderitaan secara batin. Sedangkan pelaku akan lupa begitu saja, seakan bukan suatu dosa. Dhira benci laki-laki!
Ia berjanji untuk mengungkap perbuatan paling keji yang membuat Meulu menderita. Lelaki itu tidak pantas dikasihani. Ia harus diberikan hukum setimpal. Tapi menurut Dhira, tidak ada hukum setimpal dalam dalam UU hukum pidana yang ia pelajari di Fakultas Hukum Unsyiah Banda Aceh. Dalam UU Pidana Pemerkosaan pasal 285 - 287 hukuman maksimal hanya 15 tahun penjara. Pantasnya hukuman setimpal itu seumur hidup, sebab ia telah merusak hidup orang lain untuk selamanya.
Dhira ragu. Tidak mudah mencari pelakunya, apalagi membongkar kasus itu. Sudah berulang kali terjadi hal serupa, tapi tidak ada pihak bertanggung-jawab. Aktivitas kepolisian nyaris vakum, kecualai mengamankan daerah. Pengadilan tidak berfungsi. Hukum pun jadi lumpuh. Sebab ini wilayah konflik, TNI dan GAM merasa berkuasa. Mereka terus berseteru dan saling membunuh. Orang-orang mengatakan, suasana negeri sedang dalam perang.
Seorang perawat menghampirinya Dhira. Ia menyampaikan pesan bahwa ibu korban sudah diungsikan ke “markas” Perempuan. Sulastri memintanya untuk tetap menunggui gadis korban. Dhira sebenarnya sudah jemu tinggal lama-lama di rumah sakit itu. Bukan karena ia malas, tapi ia paling benci dengan bau obat-obatan.
Suasana di ruangan tunggu itu agak sepi. Ia benci dengan lirikan laki-laki nakal yang ingin menarik simpati. Petugas-petugas di rumah sakit itu juga banyak yang haus ketika melihatnya. Ia jijik pada lelaki itu. Untuk melihatnya saja ia engan. Untuk apa senyum-senyum padanya? Di dalam kepalanya pasti jorok. Gadis itu merogoh cermin kecil dalam tas jinjing, ia mencoba membuang kejenuhan dengan bermacam cara.
Bayangan dirinya dalam cermin itu memang cukup mencolok. Apakah karena jilbab yang dipakainya berwarna hijau? Tapi menurutnya warna itu serasi dengan warna kulitnya. Ia memang tidak suka memakai jilbab, terasa ada uap panas, kemudian membuat kulit kepalanya gatal-gatal.
Namun dalam tiga tahun terakhir itu jangan coba-coba keluar rumah tanpa jilbab. Orang-orang kampung tidak mengenal istilah hak atau prifacy. Mereka tidak segan-segan mengunduli kepala wanita yang tidak mengindahkan larangan agama. Wilayah ini berlaku syariat Islam, begitulah klaim masyarakat umum. Maka semua kaum ibu yang berada di luar rumah menutup auratnya.
Terlepas asumsi apapun, Dhira memandang baik perubahan itu. Dulu ia menganggap dirinya ikut menjadi korban gejolak sosial. Sekarang tidak lagi. Gadis itu mulai menikmati penampilan barunya. Terasa lebih gaya dan percaya diri. Ternyata semuannya bisa dimulai dari kebiasaan. Lagipula ada baiknya bagi kaum perempuan. Karena perintah Allah punya makna, punya faedah, dibalik semua yang tidak kita ketahui.
Banyak wanita merasa dirinya jelek ketika memakai kerudung. Tapi nyatanya tidak. Bahkan Dhira terlihat sangat cantik, layaknya puteri dalam kisah-kisah film Mandarin. Oh, ia semakin percaya diri.
“Dhira, ya?” suara serak seseorang mengejutkannya.
Gadis itu terkesima. Sosok lelaki yang berdiri tegak di depannya sungguh unik. Jantungnya seperti berdetak kencang. Kehadiran lelaki asing dengan suara serak lembut itu benar-benar membuatnya salah tingkah. Ia tidak bisa dikatakan jelek. Ada pesona aneh memancar dari wajahnya, membuat mental gadis itu luluh seketika. Perlu sedikit persiapan diri. Tapi Dhira tidak punya sedikit pun waktu. Semua itu terjadi secara tiba-tiba. Mungkin ini terlalu berlebihan. Tapi begitulah kenyataan.
“Eh.., iya,” jawab gadis itu gugup dan cepat-cepat memasukkan cermin kecilnya ke dalam tas. Sesaat kemudian ia baru bisa mengendalikan diri. Gadis itu coba bersikap biasa, menghilangkan kecanggungannya.
“Kok kenal saya. Abang ini siapa?” tanya Dhira gugup.
“Saya tetangga Meulu.” aku lelaki itu.
Dhira memperhatikan wajah pria yang berdiri tenang di hadapannya. Garis wajahnya masih kental dengan sosok orang-orang Aceh umumnya. Tapi sungguh raut itu begitu aneh. Seperti ada daya serap luar biasa. Wajah yang unik. Dhira tersenyum, tanpa bermaksud ingin tersenyum. Tapi ia terlanjur tersenyum. Gadis itu menyesali senyumannya, terlebih pada lelaki yang tidak sedang tersenyum itu.
Tiba-tiba Dhira seperti tersentak dari ruang kosong. “Siapa Meulu?” tanyanya.
“Gadis yang dibawa ke mari pagi tadi,” jawab lelaki itu.
Dhira baru menyadari kalau gadis korban perkosaan itu bernama Meulu. Sedari tadi ia kelihatan bengong terus. Pikirannya masih dipenuhi perihal yang menimpa gadis malang itu. Bahkan sampai-sampai ia belum mengetahui nama korban. Sejak tiba di Rumah Sakit Umum Cut Mutia tiga jam lalu, benaknya dipenuh bayangan-bayangan mengerikan yang terjadi pada gadis itu semalam.
“Maaf, Mbak Tri pesan kalau Saudari dibolehkan pulang. Biar saya yang menunggu di sini,” lanjut lelaki setengah baya itu dengan logat daerah yang khas.
Ia sempat tersenyum sekali lagi ketika mengucapkan pamit. Lelaki yang tidak bisa meninggalkan ciri kedesaannya itu seperti lupa membalas senyumnya. Hatinya memaki-maki lagi, menyesali dengan senyum yang sudah terlanjur ia berikan. Seharusnya ia bisa bersikap biasa saja tanpa harus tersenyum. Apakah kita mesti tersemyum pada orang baru kita kenal? Apalagi lelaki itu bukan muhrim. Haram hukumnya.
Namun Nabi Muhammad SWT mengatakan senyum itu sedekah. Senyum menjadi sarana menjalin keakraban persaudaraan. Senyum sarana utaman bersilaturrahmi. Senyum menghubungkan hati manusia satu dengan lainnya. Senyum sebagai silaturrahmi singkat ketika berjumpa. Pahalanya setimpal dengan bersedekah. Untuk mengobati kejengkelan hatinya, Dhira menganggap bahwa dirinya sudah memberikan sedekah pada lelaki itu!
Lelaki itu memang kelihatan agak lusuh, seperti mengalami sedikit stress. Terakhir kali, pemuda berkulit kuning agak kecoklatan itu sempat juga membalas senyumnya. Senyum paling manis di antara senyum yang pernah dilihatnya. Aneh sekali lelaki itu, pikirnya. Dhira merasakan sensasi luar biasa, seperti benar-benar terhipnotis.

Bencana Masih Mengancam Orang-Orang Sawah

Arafat Nur

SEIRING dengan harapan, manakala pengolahan rawa-rawa seluas 6.000 hektar sudah menjadi areal persawahan, tekad petani Cot Trieng semakin kuat menghadapi segala kendala dan rintangan. Demikian pun usaha keras mereka, ancaman bencana masih terus mengancam.

Lahan rawa-rawa yang terhampar di pedalaman Kecamatan Muara Satu, Pemko Lhoksemawe ini, seyogyanya, sudah sejak dulu menjadi wadah air bagi hujan, dan penduduk memahami akan hal itu. Tetapi, kebutuhan akan lahan petani jualah yang kemudian melihat betapa besarnya potensi pertanian yang terbengkalai selama masa perang itu.

Dari usaha yang sudah mereka lakukan selama ini terhadap penggarapan lahan itu, dan didukung pula oleh dana otonomi khusus (Otsus) tahun 2008, maka sejauh itu pula petani di sana sudah dapat mencecap hasil padi sebanyak dua kali panen sekalipun masih jauh dari hapan sekalian petani.

Sejauh ini, sebagaimana yang diusahakan beberapa tokoh bijak di sana yang telah menunjukkan alasan-asalan terhadap potensi rawa-rawa itu, sehingga kemudian pemerintah kota tergerak, bukanlah hanya cakap bohong semata. Panen padi yang berturut-turut, sedikit banyaknya telah mengubah kesejahteraan masyarakat yang sebelumnya amat terpuruk.

Besarnya semangat penduduk terhadap pengolahan sawah itu dibuktikan dengan kesungguhan mereka dalam bekerja, berikut menghidupkan kembali tradisi khanduri blang, ritualisasi petani dalam menyambutan musim panen dan musim turun ke sawah, dilaksanakan secara meriah di pinggir sawah.

Khanduri bang yang berlangsung Kamis (17/5) itu dihadiri Walikota Lhokseumawe, Munir Usman serta puspida dan muspika setempat, turut pula tokoh masyarakat, tokoh agama, kejruen bang (pemangku adat pertanian kampung dan kecamatan), serta sejumlah masyarakat lainnya dengan menggelar tahlil dan menyantap nasi berlaukkan masakan kari ayam.

Pada saat itulah terungkap, bahwa perubahan pesat sudah terjadi di sana sejak empat tahun terakhir usaha mencetak sawah baru digagas beberapa orang cakap kampung yang hendak mengubah lahan rawa-rawa yang dulunya pernah diisukan sebagai tempat persembunyian para pentolan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) kala tentara pemburu mengepung daerah itu, tetapi akhirnya tidak menemukan seorang pemberontak pun berkeliaran di rawa-rawa sana selain petani ketakutan yang sedang buang hajat di pinggir hutan itu.

Oleh sebab kondisi itu, maka lahan tadah air itu seringkali kekeringan bilamana musim kemarau datang, dan air melimpah-ruah saat hujan datang, tanpa kendali menenggalamkan sawah itu sebagaimana yang pernah berkali-kali melanda sawah itu kala musim paneng menjelang.

Ancaman serupa itu selalu mengancam sebab banyak saluran belum terpasang dan sarana bendungan air yang belum ada, selain tanggul penahan dan saluran utama yang sudah dibangun tahun lalu, hanya mampu menahan bencana kecil, sedangkan bencana besar masih menjadi ancaman pentani di sana.

“Selain itu sarana jalan yang sudah dibangun, juga belum terlalu mendukung. Ini juga perlu dipikirkan, karena jalan bagian dari terpenting untuk mengankut hasil pertanian,” kata Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA), Rusli MS kepada Waspada.

Di sela-sela kenduri sawah itu, Munir berkata dirinya akan tetap mengusahakan perbaikan sarana guna menahan terjangan banjir yang datang dari segala penjuru; membangun parit besar setinggi tiga meter di sekeliling lahan, juga tanggul yang berhampiran dengan jalan, serta sarana kebutuhan lainnya.

Melihat kondisi yang ada, meskipun sudah banyak berubah, tetapi masih banyak yang perlu dipenahi lagi. Walikota mengharapkan dukungan petani, termasuk jika ada masalah yang timbul saat pembangunan proyek agar bersikap bijak, tidak menciptakan kepanikan, berunjuk-rasa ataupun melakukan sikap yang dianggap tidak terpuji lainnya.

Jika muncul masalah berkenaan dengan pengerjaan proyek yang tidak berkenan di hati mereka, sebaiknya perkara itu dilaporkan kepada Gechik atau tokoh masyarakat lainnya, untuk kemudian disampaikan kepada Camat. “Saya tidak mau petani terlalu mencampuri masalah tehnis proyek,” tegasnya.(Arafat Nur)